Minggu, 14 Februari 2010

Pernikahan yang Dilarang


Imam Syafi'i RA menganggap pernikahan dengan wanita yang telah dipinang orang lain sebagai pernikahan yang makruh. Sebab, pernikahannya sendiri sah hanya saja prosedurnya yang salah.

Ada beberapa bentuk dan macam perkawinan yang dilarang dalam Islam. Menurut Imam Syaffi'i ada beberapa perkawinan yang dilarang dan dianggap batal karena cacat rukunnya. Dalam kaitan perkawinan yang batal ini tidak memiliki dampak kewajiban apa pun semacam mahar, nafakah, tidak menjadi muhrim dengan mertua dan lainnya, tidak ada dampak nasab dan juga tidak ada iddah. ARtinya, pihak wanitanya langsung bisa kawin lagi dengan laki-laki lain.Imam Syafi'i menyebutkan sembilan pernikahan yang batal secara hukum:
1. Pernikahan Syighar. Pernikaha syighar itu semacam pernikahan barter. Seseorang menikahkan anaknya atau kerabatnya dengan maskawin mengawini anak atau kerabat pihak laki-laki. Dalam hal ini keperawanan masing-masing menjadi maskawin. Larangan ini muncul berdasarkan hadits Muslim dari Ibnu Umar: "Tiada bentuk syighar dalam Islam".

2. Nikah Mut'ah, yaitu pernikahan yang diberi jangka batasan waktu. Nikah Mut'ah kerap pula disebut dengan nikah mu'aqqad (terkait waktu). Misalnya nikah hanya sebulan atau dua bulan. Cacat pernikahan ini adalah mencantumkan batas waktu sementara Islam mengajarkan pernikahan untuk selamanya dan membina rumah tangga.

3. Pernikahan yang dilakukan oleh orang yang sedang berihram. baik pihak suami atau istri yang tengah melaksanakan ihram, baik ihram haji atau umrah. Tapi dalam keadaan ihram boleh seseorang menunjuk istrinya yang dicerai sekali atau dua kali, bukan thalaq tiga atau bain. Sebab, dalam fiqih merujuk (raj'ah) itu bukan melalui (ibtida' al-aqdi) tapi meneruskan yang lampau (istidamah).

4. Pernikahan yang dilakukan oleh para wali untuk seorang wanita dengan beberapa laki-laki secara tidak disadari dan diketahui. Misalnya, terjadi pernikahan yang dilakukan oleh beberapa orang yang merasa wali seorang wanita dengan laki-laki yang berbeda, namun objek istri hanya satu, serta tidak diketahui mana yang lebih dahulu dari perkawinan itu.

5. Menikahi wanita yang tengah dalam keadaan iddah (masa transisi) baik iddah karena suami mati atau cerai. Jika pernikahan ini telah mengakibatkan hubungan intim, maka keduanya dihukum sebagai hukuman zina.

6. Pernikahan dengan wanita yang diragukan kehamilannya sebelum habis masa iddahnya. Dalam kaitan ini harus ditunggu dulu statusnya, apakah benar-benar hamil atau tidak. Jika dalam keadaan tagu ini dilaksanakan, maka batallah nikahnya.

7. Pernikahan seorang muslim dengan wanita kafir -termasuk wanita yang murtad- yang bukan dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Kristiani). Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, kebolehan mengawini kitabiyah (yahudi dan nasrani) jika siwanita memiliki keturunan yang sejak awal memang mengikuti agama itu, bukan pemeluk baru. Namun, Majelis Ulama Indonisia dalam fatwanya tahun 1983 melarang laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah karena pola budaya rumah tangga kita yang berbeda dengan di tanah Arabia. Disini, wanita sangat dominan terhadap rumah tangga sehingga jika pihak ibu bukan muslim akan sangat besar mempengaruhi anak-anak menjadi bukan muslim. Padahal tanggunjawab suami adalah menjaga keturunannya untuk tetap dalam satu iman dan agama.

8. Perkawinan dengan menikahi wanita yang suka berganti agama (muntaqilah min dinin ila akhar). Wanita seperti ini tidak boleh dinikahi sebelum masuk islam sepenuhnya.

9. Perkainan wanita muslimah dengan laki-laki kafir dan termasuk ahli kitab. Atau, jika salah satu pasangan ini atau keduanya murtad sebelum dukhul (malam pertama), maka batallah pernikahan mereka.

Disamping itu masih ada perbedaan pendapat antara haram dan makruh terkait dengan bentuk perkawinan. Imam Syafi'i hanya menganggap makruh pernikahan muhallil (laki-laki yang menjadi penyela pernikahan untuk wanita yang telah ditalak tiga kali/bain oleh suaminya) yang tidak diniatkan untuk membolehkan suami pertama mengawini kembali istrinya. Namun, Imam Hambali menilai pernikahan muhallil untuk tujuan memberi kesempatan kepada suami pertama mengawini adalah haram. Bahkan, menurut Hambali, pernikahan dengan suami pertamanya kemudian setelah perceraiannya dengan muhallil. Karena ini hanya bersifat mencicipi. Rasulullah bersabda: " Allah melaknat laki-laki yang suka mencicipi (dzawwaqin) dan wanita yang dicicipi (dzawwaqat).

Demikian juga Imam Syafi'i menganggap pernikahan dengan wanita yang telah dipinang orang lain sebagai pernikahan yang makruh. Sebab, pernikahannya sendiri sah hanya saja prosedurnya yang salah. Kalangan ahli fiqih mengkiyaskan hal ini dengan seseorang berwudhu dengan air curian atau tanpa izin pemiliknya (ghasab). Namun, madzhab lain menganggab pernikahan semacam ini batal. Menurut Imam Malik RA prnikahan manjadi rusak (fasakh) sebelum dukhul dan langsung terjadi talak bain yang tidak bisa dirujuk (raj'ah) kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar